Perlindungan Indikasi Geografis dan
Potensi Indikasi Geografis Indonesia
Oleh Saky Septiono
dengan keragaman budaya dan sumber daya alami.
Dari segi sumberdaya alami banyak produk
daerah yang telah lama dikenal dan
mendapatkan tempat di pasar internasional sehingga memiliki nilai ekonomi yang
tinggi sebagai contoh : Java Coffee lada, Gayo Coffee, Toraja Coffee, Tembakau Deli, Muntok White
Pepper. Keterkenalan produk tersebut seharusnya diikuti dengan perlindungan
hukum yang bisa untuk melindungi komoditas tersebut dari praktek persaingan
curang dalam perdagangan.
Pendaftaran “Gayo Mountain Coffee” CTM No.001242965 sebagai merek dagang di Eropah (yang
sebenarnya tidak bisa didaftarkan sebagai merek) telah memicu pemilik merek yang juga eksportir kopi untuk
melakukan persaingan curang, dengan
melakukan pelarangan terhadap salah satu
eksportir kopi Indonesia. Cv Arvis
Sanada salah satu perusahaan eksportir kopi arabika asal Gayo Aceh dilarang mengeksport kopi ke daratan Eropa dengan
menggunakan kata gayo dalam kemasannya, padahal biji kopi tersebut memang
berasal dari Gayo Aceh.
Demikian pula yang terjadi dengan kopi Toraja dimana Key Coffee Inc.
Corporation dari Jepang mendaftarkan Merek “Toarco Toraja” dengan nomor
pendaftaran 75884722. Merek tersebut selain menampilkan kata “Toraja” juga
rumah adat Toraja sebagai latar merek. Sehingga hal tersebut bisa berakibat sama sebagaimana hal yang terjadi di Eropa.
Hal ini terjadi karena produk
tersebut belum terdaftar dalam perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia
dan tidak memiliki perlindungan hukum
dinegara-negara tersebut, sehingga produk –produk tersebut perlu didaftarkan
dalam perlindungan hukum indikasi geografis.
Indikasi Geografis merupakan suatu bentuk perlindungan hukum terhadap nama
asal barang. Inti perlindungan hukum ini ialah bahwa pihak yang tidak
berhak, tidak diperbolehkan menggunakan indikasi geografis bila penggunaan
tersebut cenderung dapat menipu masyarakat konsumen tentang daerah asal produk,
disamping itu indikasi geografis dapat dipakai sebagai
nilai tambah dalam komersialisasi produk.
I. Apakah Indikasi Geografis
Perlindungan terhadap Indikasi Geografis merupakan hal baru dalam sistem perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual di Indonesia. Sistem perlindungan terhadap indikasi
geografis diatur dalam Perjanjian TRIPs yang mewajibkan negara-negara anggota
untuk menyusun peraturan tentang indikasi geografis, dengan tujuan memberikan
perlindungan hukum terhadap praktek atau
tindakan persaingan curang.
Indikasi Geografis memberikan perlindungan terhadap tanda yang
mengindentifikasikan suatu wilayah negara, atau kawasan atau daerah di dalam
wilayah tersebut sebagai asal barang, dimana reputasi, kualitas dan
karakterisitik barang tersebut sangat ditentukan oleh faktor geografis yang
bersangkutan.
Indonesia merupakan negara megadiversity, negara dengan keragaman budaya
dan sumberdaya alam, banyak produk unggulan yang dihasilkan Indonesia dan
mendapatkan tempat di pasar internasional, sebagai contoh : Kopi Arabika
Kintamani Bali, Java Coffee, Kopi Arabika Mandailing, Lada Putih Muntok, dan
masih banyak lagi yang lain. Produk tersebut telah lama dikenal oleh konsumen
di berbagai Negara sejak dahulu dan hingga sekarang produk tersebut masih diperdagangkan. Dengan semakin ketatnya
persaingan, perdagangan suatu produk akan tetap mendapat permintaan tinggi apabila
ciri khas dan kualitas bisa dipertahankan serta dijaga konsistensinya.
Peningkatan mutu saja kini dirasa tidak cukup untuk menjadikan suatu
produk bertahan dipasaran tetapi juga bisa menghilangkan produk imitasi yang beredar
sehingga eksistensi mutu produk dapat dipertahankan.
Suatu produk yang bermutu khas dan terkenal tentu banyak ditiru orang
sehingga perlu diupayakan perlindungan hukum yang memadai bagi produk-produk
tersebut.
Dalam beberapa kasus telah terbukti bahwa nama produk Indonesia seperti
Lada Putih Muntok atau Muntok White Pepper telah banyak digantikan dengan
produk serupa dari Vietnam, China atau daerah lain yang diperdagangkan dengan
nama Muntok White Pepper, contoh lain adalah kopi arabika Gayo, telah
didaftarkan sebagai merek dagang oleh pihak asing dan akibatnya eksportir asal
Gayo, Aceh dilarang memasukan produknya ke Eropa dengan nama Gayo, Demikian pula yang
terjadi dengan kopi Toraja dimana Key Coffee Corporation dari Jepang
mendaftarkan Merek “Toarco Toraja” dengan nomor pendaftaran 75884722. Merek tersebut
selain menampilkan kata “Toraja” juga rumah adat Toraja sebagai latar merek.
2. Definisi dari Indikasi-Geografis
Indikasi
geografis adalah tanda yang digunakan untuk produk yang mempunyai asal
geografis spesifik dan mempunyai kualitas atau reputasi yang berkaitan dengan
asalnya. Pada umumnya indikasi geografis terdiri dari nama produk yang diikuti
dengan nama daerah atau tempat asal produk.
Dari segi
definisi, Indikasi Geografis mengandung pengertian [1]
“A Geographical Indication is a sign used on
goods that have specific geographical origin and possess qualities or a
reputation that are due to that place of origin. Most commonly, a geographical
indications consists of the name of the place of origin of the goods.
Agricultural products typically have qualities that derive from their place of
production and are influence by specific local factors, such as climate and
soil.”
Dari pengertian
di atas dapat diuraikan ciri atau unsur-unsur pokok Indikasi Geografis sebagai
berikut:
1) Sebagai tanda yang diambil dari nama daerah yang merupakan ciri khas suatu
produk atau barang yang diperdagangkan.
2) Sebagai tanda yang menunjukkan kualitas atau reputasi produk atau barang
yang bersangkutan.
3) Kualitas barang tersebut dipengaruhi oleh alam, cuaca dan tanah didaerah
yang bersangkutan.
Jadi jelas dari
uraian diatas bahwa Indikasi geografis menyangkut perlindungan atas nama asal
barang terhadap barang-barang tertentu
Perlindungan atas indikasi geografis diatur dalam ketentuan Pasal 22 sampai
dengan 24 Perjanjian TRIPs. Namun demikian, istilah mengenai indikasi geografis
dan perlindungan hukumnya sudah dikenal sejak dahulu. The common law
doctrin of passing off, based on
protection against the tort of unfair competition telah diberlakukan
guna melindungi produsen dari penggunaan asal barang yang menyesatkan.[2] Ketentuan
hukum di Inggris dan Amerika sebagai contoh mengatur perlindungan indikasi
geografis dalam collective mark dan certification mark. [3] dan pada system hukum Civil Law the appellation of origin telah digunakan untuk melindungi klaim asal
barang yang menyesatkan (false claims of geographic origin) [4]“
Box I: Definisi yang
berkaitan dengan Indikasi-Geografis dalam beberapa perjanjian Internasional
Indication
of Source dalam
“All
goods bearing a false or deceptive indication by which one of the countries
to which this agreement applies, or a place situated therein, is directly or
indirectly indicated as being the country ar place of origin shall be seize
on importation into any of the said countries”
Appelations of Origin dalam
(1)
….appelation of origin means the geographical name of a country, region or
locality, which serves to designate a product originating therein, the
quality and characteristics of which are due exclusively or essentially to
the geographical environment, including natural and human factors.
(2)
The country of origin is the country whose name, or the country in which is
situated the region or locality whose name, constitutes the appellation of
origin which has given the product is reputation.
TRIPs
art (22.1)
For
the purpose of this agreement, Indications
which indentify agood as originating an territory of a member, or a region or
locality in that territory, where a given quality, reputation or other
characteristic of the good is essentially attributable to its geographical
origin
PP No 51 tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis
Pasal 1ayat (1)
Indikasi-Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan
daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk
faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut,
memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
|
Dengan demikian perlindungan atas indikasi geografis
pada dasarnya telah diperkenalkan dalam beberapa konvensi internasional sebagai
aturan yang universal yang bertujuan memberikan perlindungan dari praktek perdagangan curang. Konvensi-konvnsi
tersebut adalah :
1.
The Paris Convention.
Konvensi Paris adalah perjanjian internasional yang
meletakkan dasar dari prinsip protection against unfair competition yang diatur
dalam ketentuan Pasal 10bis yang
kemudian dipakai sebagai dasar dari pengaturan TRIPS tentang perlindungan indikasi geografis pada Pasal 22,2.
2.
The
Madrid
Agreement.
Perjanjian
Madrid 14 April 1891 (The Madrid
Agreement of False or Deceptive
Indication of Source on Goods) yang tidak hanya menyelaraskan dengan
ketentuan konvensi paris
pasal 10 tentang adanya keterangan palsu dari asal barang (false indication of source) tetapi juga memperluas aturan tentang
indikasi yang menyesatkan/memperdaya[5] yang
kemudian dituangkan dalam ketentuan Pasal 1 (1) yang berbunyi
“All goods bearing a false or deceptive indication by
which one of the countries to which this agreement applies, or a place situated
therein, is directly or indirectly indicated as being the country ar place of
origin shall be seize on importation into any of the said countries”
3.
The GATT 1947
Pasal IX konsep
perlindungan indikasi geografis dapat terlihat pada Pasal IX: 6 yang berbunyi :
”The contracting parties shall
co-operate each other with a view to preventing the use of trade names in such
manners as to misrepresent the true origin of a product, to determent of such
distinctive regional or geographical
names of products of territory of a contracting party as are propected by its
legislation. Each contracting party shall acoord full and sympathetic
consideration to such requests or representations as may be made by any other
contracting party regarding the
application of the undertaking
set forth in preceding sentence to names of products which have been
communicate to it by the other contracting party”
Kalaupun
ketentuan Pasal IX: 6 GATT 1947 tidak di berlakukan sebagai ketentuan hukum
yang mengikat dan ditetapkan sebagai syarat wajib yang diberlakukan, tetapi ketentuan
tersebut lebih cenderung ditetapkan sebagai kerjasama antar negara anggota untuk
menangkal terjadinya penyesatan. Juga
kewajiban antar negara anggota untuk melaksanakan kerjasama dalam merumuskan
kertentuan hukum dalam peraturan hukumnya masing-masing terhadap perlindungan
nama geografis
4.
Lisbon Agreement
Istilah
“Appellation of Origin” yang tercetus
dalam Lisbon Agreement for
Protection of Appellation of Origin and
their International Registration tahun 1958 ditenggarai sebagai perjanjian
internasional yang memberikan perlindungan lebih luas terhadap perlindungan
nama geografis (geographical names)
dari perjanjian-perjanjian internasional
sebelumnya. Dalam Pasal 2 (1) perjanjian ini
dikatakan :
”….appelation of origin means the geographical name of a
country, region or locality, which serves to designate a product originating
therein, the quality and characteristics of which are due exclusively or
essentially to the geographical environment, including natural and human
factors.”
Perlindungan dalam perjanjian ini yang ditetapkan dalam
Pasal 3 melingkupi :
”Protection shall be ensuresd against
any unsurpation or imitation, even if the true origin of product is indicated
or if the appelation is used in translated form or accompanied by terms such as
”kind, type, make, imitation or the like”.
Sehingga
berdasarkan bunyi dari ketentuan tersebut disimpulkan terjadinya perluasan
terhadap perlindungan yang menyangkut tidak hanya asal barang tetapi juga
terhadap keterangan-keterangan yang menyesatkan seperti : jenis, tipe, dibuat
berdasarkan, imitasi dari atau menyerupai yang dapat menyesatkan konsumen dan
hal ini dikatagorikan sebagai pelanggaran kalaupun asal barang dicantumkan.[6] Ketentuan
ini juga diadopsi dalam Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi
Geografis[7]
5.
WIPO
Pada
tahun 1974 dan 1975 WIPO berinisiatif menyelenggarakan persidangan untuk
dibentuknya suatu perjanjian internasional baru tentang perlindungan indikasi
geografis yang kemudian menjadi langkah nyata dengan merevisi ketentuan yang
terkait dengan indikasi geografis dalam Konvensi Paris yang kemudian menjadi
suatu perjanjian internasional yang baru[8]
Sebagai
bagian dalam taraf negoisasi dalam rangka merivisi Konvensi Paris pada tahun
1980 dan awal tahun 1990, para negara anggota mempertimbangkan untuk mengadopsi
ketentuan tambahan (additional articles)
10quater addressing geographical
indications.
Sebagai
catatan berdasarkan laporan WIPO international bureau[9]
pendekatan yang dipandang dalam perlindungan indikasi geografis berdasar pada
empat katagori pertimbangan hukum yaitu : (1)
unfair competition and passing of, (2) collective and certification mark, (3)
protected appellations of origin and registered geographical indications dan (4) administratives schemes for
protection.
6.
TRIPS
Persetujuan
TRIPs ini merupakan bagian dari persetujuan pembentukan badan/organisasi
perdagangan dunia yang merupakan salah satu hasil perundingan putaran Uruguay yang
berbicara mengenai HAKI sebagai bagian dari aspek-aspek perdagangan termasuk
didalamnya perdagangan dari barang tiruan.
Indonesia
adalah salah satu Negara yang pada tanggal 15 April 1994 turut menandatangani
persetujuan ini dan persetujuan ini disahkan dengan dibentuknya Undang-undang
No. 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establising The World Trade
Organization.
Trips
merupakan perjanjian multilateral yang paling lengkap mengatur tentang Hak
Kekayaan Intelektual termasuk didalamnya pengaturan tentang Indikasi geografis
yaitu dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 24.
Pasal 22.1 memuat definisi tentang Indikasi geografis yaitu
:
Yang dimaksud dengan Indikasi geografis berdasarkan
PERSETUJUAN ini adalah, tanda yang
mengindentifikasikan suatu wilayah Negara Anggota, atau kawasan atau daerah didalam
wilayah tersebut sebagai asal baran, dimana reputasi, kualitas dan
karakteristik barang yang bersangkutan sangat ditentukan oleh faktor geografis
tersebut.[10]
Pasal 22 memuat ketentuan tentang sarana hukum bagi
perlindungan semua produk indikasi geografis dimana dapat disimpulkan bahwa
indikasi geografis dilindungi sebagai upaya agar tidak terjadinya penyesatan
public dan mencegah persaingan curang
Box II
Unfair Competition and Passing Off
The treatment of geographical
indications under the common law principles of unfair competition and passing
off : is based on injury that is suffered by a business through a felse
representation by a competitor that is product comes from the same source
One aspect of the unfairness
involves taking advantages of the reputation of the injury party
A Second aspect of the unfairness involves
are of inferior quality, thus causing damage to its reputation
A Third aspect of the unfairness goes
to the injury of the public being decives into purchasing goods other than
those for which it bargained
|
3.Mengapa Indikasi Geografis Penting untuk mendapat perlindungan
Sebagaimana merek dagang, indikasi geografis
juga merupakan hak milik yang memiliki nilai ekonomis sehingga perlu mendapat
perlindungan hukum
Pertama
indikasi geografis merupakan tanda pengenal atas barang yang berasal dari
wilayah tertentu atau nama dari barang
yang dihasilkan dari suatu wilayah tertentu dan secara tegas tidak bisa
dipergunakan untuk produk sejenis yang dihasilkan dari wilayah lain.
Kedua indikasi geografis
merupakan indikator kualitas, indikasi geografis menginformasikan kepada
konsumen bahwa barang tersebut dihasilkan dari suatu lokasi tertentu dimana
pengaruh alam sekitar menghasilkan kualitas barang dengan karakteristik
tertentu yang terus dipertahankan reputasinya.
Ketiga indikasi geografis
merupakan strategi bisnis dimana
indikasi geografis memberikan nilai tambah komersial terhadap produk karena
keoriginalitasannya dan limitasi produk yang tidak bisa diproduksi daerah lain.
Keempat berdasarkan perjajian
TRIPs indikasi geografis ditetapkan sebagai bagian dari hak milik intelektual yang hak kepemilikannya dapat dipertahankan dari segala tindakan
melawan hukum dan persaingan curang.
4. Pemegang Hak Indikasi Geografis
Siapa pemegang hak atas Indikasi Geografis, Indikasi geografis memang berbeda dengan kepemilikan Hak atas
Kekayaan Intelektual lainnya seperti Merek, Patent, Hak Cipta, Desain Industri,
Rahasia Dagang ataupun Varietas Tanaman yang haknya dimiliki secara individual,
Indikasi Geografis tidak demikian, hak tersebut secara kolektif dimiliki oleh masyarakat produsen setempat.
Tiap orang yang yang berada dalam daerah penghasil
produk dimungkinkan untuk bersama-sama memiliki hak tersebut dan menggunakan
nama indikasi geografis pada produksinya sepanjang syarat-syarat dalam buku
persyaratan yang telah disepakati bisa dipenuhi.
5. Bagaimana bekerjanya Indikasi Geografis dalam menggerakan perekonomian
Indikasi Geografis pada prakteknya
dikenali oleh konsumen sebagai tanda tempat asal suatu barang dimana ciri khas dan kualitas diketahui berbeda
dengan barang serupa yang berasal dari daerah lain,
Konsumen biasanya lebih tertarik dan rela membayar
diatas harga normal karena originalitas (keasliannya), kualitas dan reputasi yang
melekat pada barang tersebut. Sebagai
contoh Cerutu Kuba yang terkenal dan harganya cukup mahal hal tersebut terjadi
karena kualitas yang terjamin dari waktu-kewaktu dan reputasi yang mendunia,
demikian juga Champagne yang menempatkan produksinya teratas dan begitu diminati
diseluruh dunia.
Konsumen mengenali kualitas keaslian
dan menikmati reputasi premium sehingga mereka rela membayar mahal untuk itu, konsumen
terhindar dari kekhawatiran terpedaya dengan produk lain saat mereka membeli produk indikasi geografis
oleh karena Indikasi geografis bekerja
melindungi produk tersebut dari upaya curang pihak lain yang membuat
imitasinya.
Disisi lain, indikasi geografis secara
hukum memaksa produsen untuk mempertahankan mutu dan kualitas produk sesuai
dengan buku persyaratan, sehingga konsumen bisa menikmati produk dengan mutu
yang sama dari waktu kewaktu, konsumen juga memiliki akses informasi untuk bisa
melacak keberadaan daerah asal penghasil barang.
Buku persyaratan adalah buku tentang
indentifikasi produk secara rinci, yang didalamnya juga menguraikan tentang
faktor-faktor yang menjadikan ciri khas suatu produk, yang terdiri dari :
a. nama Indikasi-geografis
b. nama barang yang dilindungi
c. uraian mengenai karakteristik dan kualitas
d. uraian mengenai lingkungan geografis serta
faktor alam dan faktor manusia
e. uraian tentang batas-batas daerah dan/atau peta
wilayah yang dicakup oleh Indikasi-geografis;
f. uraian mengenai sejarah dan tradisi yang
berhubungan dengan pemakaian Indikasi-geografis
g. uraian yang menjelaskan tentang proses produksi,
proses pengolahan, dan proses pembuatan
h. uraian mengenai metode yang digunakan untuk menguji kualitas
i. label yang digunakan pada barang dan memuat Indikasi-geografis.[11]
Buku persyaratan ini harus disusun
dan ditaati oleh masyarakat produsen pemegang hak IG.
Peta wilayah daerah penghasil IG adalah suatu peta batas wilayah suatu daerah
penghasil produk IG yang ditentukan berdasarkan karakter karakter tertentu,
peta wilayah ini tidak hanya menggambarkan daerah wilayah penghasil tetapi
lebih jauh memberikan batasan terhadap para produsen yang berhak menggunakan nama indikasi
geografis pada barang yang dihasilkan.
Dari peta wilayah dapat tergambar
tentang jumlah produk yang dihasilkan, apabila suatu produk mendapat permintaan
tinggi maka harga akan naik karena produksi terbatas dan tidak bisa ditambah dengan produk serupa
dari daerah lain.
Peta Wilyah IG Kopi Arabika
Kintamani Bali
BOX III
|
Ini sebabnya GI memainkan peran yang
cukup penting dalam menggerakan roda perekonomian suatu bangsa dimana suatu
produk dilindungi dari segi kualitas dan keaslian dari daerah produksinya
dan originalitas produk tersebut dapat direspons oleh konsumen sebagai sesuatu
yang patut dihargai serta konsumen terhindar dari pemalsuan, kontribusi ini
yang kiranya menambah nilai pada suatu produk.
Berbeda dengan peran merek dagang
yang ada pada produk termasuk pada produk Indikasi Geografis, Merek dagang
adalah indentitas dari produsen, merek membedakan antara satu produsen dengan
produsen lain, akan tetapi fungsi merek hanya terbatas pada persoalan indentitas produsen, merek tidak bisa melindungi
originalitas asal barang, Konsumen bisa mendapatkan merek yang asli tetapi
belum tentu keaslian produk didalamnya.
Sebagai contoh merek kopi XX Kintamani
Bali apakah kopi tersebut benar berasal dari kopi arabika kintamani bali, bisa-bisa kopi itu berasal dari daerah lain yang
mutunya lebih rendah dari daerah Kintamani, atau mungkin kopi tersebut adalah
campuran dari kopi arabika kintamani bali jika kopi kintamani bali tidak
dilindungi dengan indikasi geografis siapa yang bisa mengklaim hal itu. Tidak
satupun ketentuan hukum dalam Undang-Undang Merek dapat melindungi hal
tersebut.
Konsumen cenderung teraniaya haknya,
dan produsen kopi kintamani yang harus menuai akibatnya, karena kopi arabika kintamani
bali yang banyak beredar dipasaran adalah kopi yang bermutu rendah sehingga
dalam waktu tertentu opini konsumen akan terbentuk dengan kualitas kopi
kintamani yang tidak asli, bagaimana produsen bisa menjual produknya dengan
harga tinggi kalau konsumen sudah
terlanjur tidak percaya.
Apakah Perlindungan Indikasi Geografis hanya terbatas pada produk pertanian
. Perlindungan indikasi geografis pada dasarnya tidak
terbatas pada produk pertanian saja, semua produk yang memiliki keterkaitan
dengan faktor geografis termasuk faktor alam dan atau manusia sebagai dominasi
terbentuknya ciri khas dan kualitas dapat dilindungi dengan indikasi geografis[12]
sebagai contoh handicraft dapat dilindungi sebagai indikasi geografis adalah
Gerabah Kasongan di Jawa Tengah, dari metode pembuatan di ketahui bahwa bahan
baku pembuatan gerabah berupa tanah merah yang berasal dari daerah Bangunjiwo
kecamatan Kasihan, Bantul karena ciri-ciri yang khas pada tanah liat dari
daerah tersebut sebagai bahan dasar pembuatan gerabah berbeda dari daerah lain
maka gerabah kasongan dapat dilindungi sebagai indikasi geografis. Hal ini
dikarenakan dominasi dari ciri khas dan kualitas gerabah kasongan ada pada
bahan baku tanah.
Motif gerabah tradisional perlindungannya
ada pada ekspresi budaya tradisional karena biasanya tidak lagi diketahui siapa
penciptanya atau telah melampaui waktu yang ditetapkan undang-undang, sedangkan motif gerabah kontemporer bisa dilindungi
dalam hak cipta karena biasanya motif seperti ini adalah motif baru yang
diketahui penciptanya.
Dengan demikian yang dapat
membedakan produk Indikasi geografis dan bukan produk indikasi geografis adalah
dominasi yang membentuk ciri khas dan kualitas, Ciri khas dan kualitas pada
produk Indikasi Geografis didominasi faktor alam, jika
ciri khas dan kualitas lebih didominasi faktor manusia maka bisa diapastikan
produk tersebut bukan produk indikasi geografis seperti Bika Ambon Medan, Gudeg
Jogja, soto Betawi, bakpia patuk, kopi ulle kareng, batik Jogja.
|
Indikasi geografis
|
Traditional Knowledge
|
Foklore
|
Faktor pembentuk ciri khas dan kualitas
|
Dominasi geografis
|
Dominasi manusia
|
Dominasi manusia
|
|
|
knowhow
|
expression
|
Box IV: Potensi Produk Indikasi Geografis di Asia
Indonesia:
Coffee
from Kintamani, Toraja, Ijen Clove from Ternate,Pepper from Bangka, Tobacco
from Deli,Rice From Cianjur,Nutmeg from Ternate,Cinnemon from Bukit tinggi,
Cacao from Bone bone
(
Nuoc
Mam from Phu Quoc,Tea Shan Tuyet from Moc Chau
Potential
GI : Pomelo From
Pomelo
From Phuc Trah,Rice From Hai Nau,Pepper from Phu Quoc,Buon Ho Coffee (Dak
Lak),Tan Lam Coffee (Quang Tri),Nuocman From Cat Thai,Tea From Tan Cuong
Kamboja: Rice from Battabang,
Cardamom,Pranoc (Fish sauce), Pepper from
Kampot
Cina: Alcohol From
Cereals, Mootai (Gui Zhou),Longjing Tea From Huangzhou (Zhetiang),Xuanwei Ham
(Yunnan), Mengshan tea (Sinchuan),Shuijing Alcohol (Sinchuan),Ginseng From Changbaishan,Art
paper from Xuancheng,Yellow Rice Spirit from Shaoxing,Plus more than 80
potential GI
Purple stick rice from the
Algoe from Luang Prabang, Benzoin from
Thailand: Longan from
Chiangmai,Hom Mali fragrant rice from Buriram, Sisaket,Sao Hai Rice from
Saraburri,Sai Krog Sausage from Isan,Silk from Isan, Lychee from
Chiangrai, Durian from Chanthaburi, Rayong,Mangosteem
from Rayong, Pineapple from Phuket, Salted eggs from Chai Ya (Surattnani),
Oysters from Surattnani,Wine from Loei, Pak Chong, Khao Yai, Gold from
Sukhotai.
Adepta- & Abassade de France en Thailande
|
6.
Ketentuan Indikasi Geografis di Indonesia
Semenjak
ditetapkannya Undang-undang No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, secara otomatis undang-undang
tersebut mengesahkan pula ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
Persetujuan TRIPs. Konsekuensinya,
Ketentuan undang-undang dibidang Hak Kekayaan Intelektual juga harus
disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Persetujuan TRIPs,
hal-hal baru yang diatur dalam Persetujuan
TRIPs harus dimasukkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
dibidang hak kekayaan intelektual. Salah satunya menyangkut masalah perlindungan indikasi geografis.
Ketentuan tersebut diatur dalam Undang-undang Merek melalui revisi
Undang-undang nomor 19 Tahun 1992 Tentang Merek dengan Undang-undang Nomor 14
Tahun 1997.
Pada
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997, diatur di Pasal 79 a sampai dengan pasal 79
d tentang Indikasi Geografis dan Indikasi Asal. Ketentuan tersebut membagi dua
pengertian atas penggunaan produk yang menggunakan nama geografis yaitu
Indikasi Geografis dan Indikasi Asal. Indikasi Geografis didefinisikan dalam
Pasal 79 a dengan rumusan sebagai berikut :
“Indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah
asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam,
faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan
kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan”.
Dari segi rumusan, definisi Indikasi Geografis sebagaimana diatur
dalam Pasal 79 A UU Nomor 14 Tahun 1997
tentang Merek tersebut mempunyai pengertian yang sama dengan ketentuan Indikasi
Geografis pada Persetujuan TRIPs, yaitu terdiri dari dua hal pokok :
·
Tanda yang menunjukkan suatu daerah
asal atau barang yang dipengaruhi oleh faktor alam dan manusia.
·
Produk dari barang yang dihasilkan
tersebut mempunyai ciri dan kualitas.
Tanda yang
dimaksud dalam tanda indikasi geografis dapat berupa bentuk atau etiket atau label yang dilekatkan
pada barang yang dihasilkan. Selain itu indikasi geografis dapat pula berupa
nama tempat, daerah atau wilayah, atau kata, gambar,huruf atau kombinasi
unsur-unsur tersebut. Yang dilindungi dari indikasi geografis sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 yaitu :
a) Barang-barang yang dihasilkan oleh alam.
b)
Barang-barang
hasil pertanian.
c)
Hasil
kerajinan tangan.
d)
Hasil
Industri Tertentu.
Dari
produk-produk tersebut apabila memenuhi kriteria adanya pengaruh faktor alam
dan manusia serta adanya ciri dan
kualitas dari produk maka nama daerah tersebut dapat didaftarkan sebagai indikasi
geografis.
Yang berhak untuk
mengajukan permintaan pendaftaran Indikasi Geografis berdasarkan Pasal 56 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001 Tentang
Merek adalah:
1.
Lembaga yang mewakili masyarakat di
daerah produsen yang bersangkutan. Lembaga ini terdiri dari:
a.
Pihak yang mengusahakan
barang-barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan alam.
b.
Produsen barang-barang hasil
pertanian.
c.
Pembuat barang-barang kerajinan
tangan atau hasil industri.
d.
Pedagang atau yang menjual
barang-barang tersebut
2.
Lembaga yang diberi kewenangan itu.
3.
Kelompok konsumen dari barang-barang
tersebut.
Undang-undang
Merek Nomor 14 Tahun 1997 juga mengatur pemberian perlindungan terhadap
indikasi asal dalam Pasal 79D. Menurut ketentuan tersebut perlindungan hanya
digunakan semata-mata untuk menunjukkan asal suatu barang atau jasa.
Perlindungan atas indikasi asal tersebut berlaku secara otomatis tanpa melalui
pendaftaran sebagaimana indikasi geografis. Dengan kata lain tanpa adanya
pendaftaran Indikasi asal dapat
dilindungi.[13]
Perlindungan atas indikasi geografis dan indikasi asal diberikan secara perdata maupun pidana.
Secara Perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 B yaitu pihak yang berhak
atas indikasi geografis dapat melakukan
tuntutan ganti rugi dan penghentian penggunaan
terhadap pihak-pihak yang telah menggunakan Indikasi secara tanpa hak. Sedangkan ketentuan Pidana diatur pada pasal 82 A yaitu siapa
yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang secara
keseluruhannya dengan Indikasi Geografis
milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang
terdaftar, dipidana selamanya 7 tahun dan denda maksimum Rp 100 juta. Jika
persamaan ini hanya pada pokoknya dengan
Indikasi Geografis milik pihak lain yang
terdaftar maka pidana penjaranya ditentukan maksimum 5 tahun dan denda
sebanyak-banyaknya 50 Juta. Perlindungan Indikasi Asal dari segi Pidana diatur
dalam Pasal 82 B yang dirumuskan sebagai berikut : “Peniruan atas Indikasi
Asal pada barang atau jasa diancam
dengan sanksi pidana maksimum 5 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp 50
Juta”.
Sejak tanggal 1
Agustus 2001, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 dan Undang-undang No.19 Tahun 1992 Tentang Merek
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Kedua Undang-undang tersebut
selanjutnya diganti dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.
Meskipun ada penggantian undang-undang tersebut, secara prinsip ketentuan
mengenai subtansi Indikasi Geografis tidak mengalami perubahan. Perubahan hanya
terjadi pada pasal-pasalnya saja yaitu :
·
Pasal 56 ayat (1) yang menjelaskan
tentang pengertian Indikasi Geografis.
·
Pasal 56 ayat (2) yang menjelaskan
tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan pendaftaran Indikasi Geografis.
·
Pasal 56 ayat (3) tentang Pengumuman
Indikasi Geografis yang prosesnya sama dengan pengumuman merek terdaftar.
·
Pasal 56 ayat (4) tentang Penolakan Permintaan pendaftaran
Indikasi Geografis. Dalam pasal ini terdapat penambahan dari Undang-undang
No.14 Tahun 1997, yaitu bahwa permohonan Indikasi Geografis akan ditolak
apabila bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, ketertiban umum, atau
dapat memperdayakan, atau menyesatkan
masyarakat mengenai cara, sifat, ciri, kualitas, asal sumber, proses
pembuatan dan atau kegunaannya dan tidak memenuhi syarat untuk didaftar sebagai
Indikasi Geografis.
·
Pasal 56 ayat (5) dan ayat (6) yang
menambahkan ketentuan tentang keberatan
atas penolakan pendaftaran Indikasi Geografis yang dapat diajukan kepada Komisi
Banding Merek. Adapun tata caranya sama
dengan ketentuan Penolakan Permintaan Pendafaran Merek terdaftar.
·
Pasal 56 ayat 7 menyatakan bahwa
Indikasi Geografis diberikan perlindungan hukum selama ciri atau kualitas
produk yang bersangkutan masih ada.
·
Perlindungan hukum secara Perdata
atas Indikasi Geografis diatur pada
Pasal 57 yang intinya menegaskan bahwa
pemegang hak Indikasi Geografis dapat mengajukan tuntutan ganti rugi dan
penghentian penggunaan serta pemusnahan etiket Indikasi Geografis yang
digunakan secara tanpa hak.
·
Pengertian mengenai Indikasi Asal
dijelaskan dalam Pasal 59. Sedangkan
perlindungan secara Perdata atas Indikasi Asal diatur Pasal 60 yang juga
mengatur hal yang sama sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 57 dan Pasal
58.
Perlindungan
secara pidana atas indikasi geografis diatur dalam Pasal 92 yang menyatakan
bahwa : barangsiapa yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda
yang sama secara keseluruhannya dengan
Indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan
barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimum Rp
1.000.000.000.(satu miliar rupiah). Jika persamaan ini hanya persamaan pada
pokoknya dengan Indikasi Geografis milik pihak lain yang terdaftar maka
ancaman pidana penjaranya ditetapkan
maksimum 4 tahun dan denda paling banyak Rp 800 Juta.
Adapun Perlindungan bagi indikasi asal yang
bersifat Pidana diatur pada Pasal 93, intinya,
barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang
dilindungi berdasarkan indikasi asal
pada barang atau jasa sehingga dapat memperdaya atau menyesatkan mengenai asal
barang atas Indikasi Asal pada barang atau jasa akan dikenakan sanksi
pidana maksimum 4 Tahun dan denda paling banyak Rp 800 Juta.
7. Peraturan Pemerintah
No. 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi
Geografis
Dengan
diberlakukannya PP. 51 Tahun 2007 pada tanggal 4 September 2007 sebagai
aturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 yang mengatur
perlindungan Indikasi-Geografis maka hal tersebut telah membuka jalan untuk
bisa didaftarkannya produk-produk Indikasi Geografis di tanah air. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2007 memuat
ketentuan-ketentuan mengenai tatacara pendaftaran Indikasi-Geografis adapun
tahap tatacara dapat dikelompokan menjadi
I.
Tahap Pertama : Mengajukan Permohonan
Setiap Asosiasi, produsen atau organisasi yang mewakili produk Indikasi Geografis dapat mengajukan permohonan dengan memenuhi
persyaratan–persyaratan yaitu dengan melampirkan
:
· Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh Pemohon
atau melalui Kuasanya dengan mengisi formulir dalam rangkap 3 (tiga) kepada
Direktorat Jenderal
· surat kuasa khusus, apabila Permohonan diajukan
melalui Kuasa;
· bukti pembayaran biaya
· Buku Persyaratan yang terdiri atas:
a. nama Indikasi-geografis yang dimohonkan
pendaftarannya;
b. nama barang yang dilindungi oleh Indikasi-geografis;
c. uraian mengenai karakteristik dan kualitas yang
membedakan barang tertentu dengan barang lain yang memiliki kategori sama, dan
menjelaskan tentang hubungannya dengan daerah tempat barang tersebut
dihasilkan;
d. uraian mengenai lingkungan geografis serta
faktor alam dan faktor manusia yang merupakan satu kesatuan dalam memberikan
pengaruh terhadap kualitas atau karakteristik dari barang yang dihasilkan;
e. uraian tentang batas -batas daerah dan/atau peta
wilayah yang dicakup oleh Indikasi-geografis;
f. uraian mengenai sejarah dan tradisi yang
berhubungan dengan pemakaian Indikasi-geografis untuk menandai barang yang
dihasilkan di daerah tersebut, termasuk pengakuan dari masyarakat mengenai
Indikasi-geografis tersebut;
g. uraian yang menjelaskan tentang proses produksi,
proses pengolahan, dan proses pembuatan yang digunakan sehingga memungkinkan
setiap produsen di daerah tersebut untuk memproduksi, mengolah, atau membuat
barang terkait;
h. uraian mengenai metode yang digunakan untuk menguji kualitas barang yang
dihasilkan; dan
i. label yang digunakan pada barang dan memuat Indikasi-geografis.
· Uraian tentang batas-batas daerah dan/atau peta
wilayah yang dicakup oleh Indikasi-geografis yang
mendapat rekomendasi dari instansi yang berwenang.
II. Tahap Kedua : Pemeriksaan Administratif
Pada tahap
ini pemeriksa melakukan pemeriksaan secara cermat dari permohonan untuk melihat
apabila adanya kekurangan-kekurangan persyaratan yang diajukan. Dalam hal adanya kekurangan Pemeriksa dapat mengkomunikasikan hal ini
kepada pemohon untuk diperbaiki dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan dan apabila tidak dapat diperbaiki maka
permohonan tersebut ditolak.
III. Tahap Ketiga : Pemeriksaan Substansi
Pada tahap
ini permohonan diperiksa . Permohonan Indikasi geografis dengan tipe produk
yang berbeda-beda, Tim Ahli yang terdiri dari para pemeriksa yang ahli pada bidangnya memeriksa isi dari
pernyataan-pernyataan yang yang telah diajukan untuk memastikan kebenarannya
dengan pengkoreksian, setelah dinyatakan memadai maka akan dikeluarkan Laporan
Pemeriksaan yang usulannya akan disampaikan kepada Direktorat Jenderal.
Dalam Permohonan ditolak maka pemohon dapat
mengajukan tanggapan terhadap penolakan tersebut, Pemeriksaan substansi
dilaksanakan paling lama selama 2 Tahun.
IV. Tahap Keempat : Pengumuman
Dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari sejak
tanggal disetujuinya Indikasi-geografis untuk didaftar maupun
ditolak, Direktorat Jenderal mengumumkan keputusan tersebut dalam Berita
Resmi Indikasi-geografis selama 3 (tiga) bulan.
Pengumuman akan memuat hal-hal antara lain: nomor Permohonan,
nama lengkap dan alamat Pemohon, nama
dan alamat Kuasanya, Tanggal Penerimaan, Indikasi-geografis dimaksud, dan
abstrak dari Buku Persyaratan
v. Tahap Ke Lima : Oposisi Pendaftaran, Setiap orang yang memperhatikan Berita Resmi Indikasi geografis dapat
mengajukan oposisi dengan adanya Persetujuan Pendaftaran Indikasi Geografis
yang tercantum pada Berita Resmi Indikasi Geografis. Oposisi
diajukan dengan membuat keberatan disertai dengan alasan-alasannya dan pihak
pendaftar / pemohon Indikasi geografis dapat mengajukan sanggahan atas
keberatan tersebut.
VI. Tahap Ke Enam : Pendaftaran, Terhadap Permohonan Indikasi
Geografis yang disetujui dan tidak ada
oposisi atau sudah adanya keputusan final atas oposisi untuk tetap didaftar.
Tanggal pendaftaran sama dengan tanggal ketika diajukan aplikasi. Direktorat
Jenderal kemudian memberikan sertifikat
Pendaftaran Indikasi Geografis, Sertifikat dapat diperbaiki apabila terjadi
kekeliruan.
VII. Tahap Ketujuh : Pengawasan terhadap
Pemakaian Indikasi-Geografis
Pada Tahap ini Tim Ahli
Indikasi-geografis mengorganisasikan dan memonitor pengawasan terhadap
pemakaian Indikasi-geografis di wilayah Republik Indonesia. Dalam hal ini
berarti bahwa Indikasi Geografis yang dipakai tetap sesuai sebagaimana buku
persyaratan yang diajukan.
VIII. Tahap Kedelapan :
Banding
Permohonan banding dapat diajukan kepada Komisi Banding Merek oleh Pemohon atau Kuasanya terhadap penolakan
Permohonan dalam jangka waktu 3 (tiga Bulan) sejak putusan penolakan diterima dengan
membayar biaya yang telah ditetapkan.
8. Sengketa Indikasi Geografis Dengan Merek
A. Merek Dagang
Merek dagang sebagaimana diketahui adalah suatu perangkat yang dipergunakan
didalam perdagangan untuk membedakan produk satu produsen dengan produsen lain
definisi yang diberikan oleh Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Pasal 1 ayat (1)
adalah : tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan
warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Sifat kepemilikan
hak atas merek dagang adalah individu dimana hak tersebut timbul dari adanya
pendaftaran, hak atas merek dagang dikatagorikan sebagai hak kebendaan
dimana hak tersebut dapat dipertahankan
terhadap pihak ketiga dan secara khusus hak tersebut memberikan keleluasaan
pemiliknya untuk melakukan pelarangan, pemberian izin (lisensi) & pengalihan hak termasuk menjual, meghibahkan
atau mewariskan. Hak monopoli yang diberikan Undang-undang ini juga dilengkapi
dengan hak untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib tiap-tiap pelanggaran
hukum atas hak tersebut juga hak untuk
megajukan gugatan perdata dimuka pengadilan.
B. Merek dagang berbeda dengan Indikasi geografis
Undang-undang
Merek pada dasarnya telah membedakan
antara merek dan Indikasi geografis dan dapat diterjemahkan bahwa merek dagang
bukan indikasi geografis, hal ini terbukti pada bunyi ketentuan Pasal 6 Ayat (1)
huruf c (absolut ground)[14], dimana Indikasi
geografis tidak bisa didaftarkan sebagai merek dagang
Box V
Pasal 6 ayat (1) huruf c : Permohonan harus ditolak oleh Direktorat
Jenderal apabila Merek tersebut: Mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan indikasi-geografis yang sudah dikenal.
Contoh : tequila & Champagne tidak bisa didaftarkan
sebagai merek
|
|
Perbedaan diatara keduanya dapat dilihat dari tabel dibawah ini
Indikasi Geografis
|
Merek
|
Definisi :
Indikasi-Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan
daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk
faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut,
memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
|
Definisi :
Tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang
memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau
jasa.
|
Indikasi Geografis menunjukkan kualitas, reputasi dan
karateristik suatu produk.
|
Merek tidak
menunjukkan kualitas produk
|
Lingkup perlindungan :
Barang tertentu yang memiiliki ciri khas dan
kualitas, yang karena pengaruh alam
dan atau manusia.
|
Lingkup perlindungan :
Barang dan jasa
|
Jangka waktu perlindungan
Selama ciri khas dan kualitas dapat dipertahankan.
|
Jangka waktu perlindungan
10 Tahun bisa diperpanjang
|
Exploitasi
Indikasi Geografis tidak dapat diperjualbelikan/ dilisensikan.
|
Exploitasi
Merek dapat diperjual belikan atau dilisensikan
|
Sifat kepemilikan :
Kolektif
|
Sifat kepemilikan :
Individu
|
Konflik Merek dan Indikasi Geografis
Pada dasarnya
merek dan indikasi geografis sering mengalami benturan didalam prakteknya, oleh
karena indikasi geografis dan merek dagang sering dipakai secara bersamaan
sehingga seringkali para pengusaha mendaftarkan indikasi geografis sebagai
merek dagang. Hal ini telah memicu terjadinya persaingan curang diantara para
produsen. Beberapa kasus telah terjadi menimpa
produk indikasi geografis indonesia
Pengaturan
Indikasi Geografis di Indonesia diatur
dalam lingkup Undang-undang
Merek, baik Undang -undang Nomor 14 Tahun 1997 maupun Undang-undang Nomor 15
Tahun 2001. Mengingat keduanya mempunyai
perbedaan yang sangat mendasar, maka hal itu dapat menimbulkan pemahaman yang
keliru. Sebagian masyarakat akan menganggap bahwa Indikasi Geografis adalah
bagian dari Merek. Apalagi dalam pengaturan dan cara pendaftarannya tidak
menjelaskan secara tegas perbedaan perbedaan prinsipil antara merek dan
Indikasi Geografis tersebut. Akibatnya, muncul kerancuan yang menafsirkan
Indikasi Geografis sebagai bagian dari merek. Di beberapa Negara, diatur dalam
aturan tersendiri sebagaimana halnya di Perancis, Australia, dan India. Menurut
sistem dan pemahaman yang dikembangkan di negara-negara tersebut, ruang lingkup perlindungan Indikasi Geografis
berbeda dengan merek. Demikian pula system pendaftarannya. Di Perancis, untuk
mendaftarkan Indikasi Geografis harus melalui prosedur yang cukup panjang,
termasuk melalui pengujian secara teliti
tentang struktur tanah, alam dan lingkungan serta intervensi faktor manusia.
Meskipun demikian masih sering terjadi
konflik antara merek dan Indikasi Geografis, terutama dalam bentuk penggunaan
nama Indikasi Geografis dipergunakan sebagai merek dagang atau jasa. Misalnya,
Champagne dipergunakan untuk jenis barang parfume. Dalam hal demikian orang
akan mengira bahwa pendaftaran Indikasi Geografis berarti pendaftaran merek.
Atau, terdapat dua perlindungan yang berlaku secara otomatis yaitu antara merek
dan Indikasi Geografis (INAO, 2001:9). Dari segi lingkup pengaturan, terdapat
perbedaan prinsip antara indikasi Geografis dan Merek.[15]
I. Kasus Kopi Gayo
Gayo merupakan
dataran tinggi di provinsi Nagroe Aceh Darusalam yang telah puluhan tahun
dikenal sebagai penghasil kopi arabika terbaik di dunia Perkebunan Kopi yang
telah dikembangkan sejak tahun 1926 ini tumbuh subur di Kabupaten Bener Meriah
dan Aceh Tengah. Pada tanggal 15-07-1999 kata ”Gayo Mountain Coffee”
didaftarkan oleh European Coffee Bv yang beralamat Zwarteweg
6 B NL-1412 GD Naarden Paises Bajos
melalui CTM daftar 001242965, kelas 30 dengan jenis barang Coffee, tea, cocoa,
sugar and artificial coffee.[16]
Berdasarkan
adanya sertifikat merek European BV melalui Holland Coffee telah melayangkan
surat /somasi kepada PT. Arvis Sanada[17]
suatu perusahaan eksportir kopi nasional yang dimiliki oleh putra asal Gayo berkedudukan di Medan Sumatera Utara untuk tidak mengeksport
kopi ke Belanda dengan menggunakan kata Gayo Coffee karena kata tersebut
memiliki persamaan dengan sertifikat merek miliknya. Hal ini membuat kontrak
eksport kopi ke belanda dihentikan dan semua kontrak yang telah disepakati
dibatalkan. Kemudian Eroupean Bv juga melarang semua perusahaan kopi di seluruh
dunia untuk tidak mengedarkan kopi gayo di belanda. Seperti juga halnya Pt.
Arvis Sanada, European BV tidak
keberatan atas peredaran kopi di Belanda asal tidak menggunakan kata Gayo
kalupun itu merupakan asal dari kopi yang diperdagangkan.
II. Kasus Kopi Toraja
Sejauh ini masyarakat mengakui bahwa reputasi Kopi Toraja sudah sedemikian
tinggi hingga dikenal luas didalam dan di luar negeri. Sebagai bagian dari
fenomena bisnis dan perdagangan, suatu produk yang mempunyai reputasi Internasional akan
diikuti oleh praktek peniruan, termasuk
dalam bentuk dan cara penggunaan nama-nama produk yang sudah terkenal tersebut. Begitu pula dengan Kopi
Toraja yang sudah terkenal mempunyai reputasi diluar negeri. Nama Kopi Toraja
telah digunakan di luar negeri dan didaftarkan sebagai merek. Contohnya, di
Amerika Serikat terdapat tiga pendaftaran merek yang menggunakan kata TORAJA
berikut dengan gambar rumah Toraja. Data selengkapnya adalah sebagai berikut :
·
Merek
Toarco Toraja Nomor Pendaftaran 75884722
milik Key Coffe, Inc Corporation Japan , menggunakan gambar
rumah Toraja
·
Merek
SULOTCO KALOSI TORAJA COFFEE Nomor Pendaftaran 74547036, milik IFES Inc.
Corporation California
·
Merek SULOTCO KALOSI
TORAJA COFFEE dengan gambar rumah Toraja Nomor Pendaftaran 74547000, milik IFES
Inc. Corporation
California
Patut dicatat bahwa pendaftaran TORAJA COFFEE di Amerika Serikat tersebut tidak menyatakan kata TORAJA beserta
gambar rumah Toraja yang merupakan simbol daerah Toraja sebagai
hak eksklusif pendaftar[18].
Ini berarti kata
Toraja Coffee tidak diklaim sebagai produk Indikasi Geografis dari Indonesia.
Hal itu merupakan konsekuensi logis dari
belum berlakunya perlindungan atas Indikasi Geografis di Indonesia meskipun sudah diatur dalam Undang-undang Merek.
Dengan kata lain, Amerika Serikat tidak
mengetahui produk-produk mana yang termasuk dalam kategori Indikasi Geogarafis
dari Indonesia. Oleh karena itu penggunaan secara tanpa hak nama-nama
produk-produk geografis Indonesia tidak dapat diselesaikan melalui jalur hukum.
III Kasus Champagne
Kasus yang terkait dengan Champagne adalah penggunaan
kata tersebut untuk merek bagi jenis barang selain minuman anggur. Pada tahun
1984, kata Champagne dipergunakan oleh perusahaan Perancis SEITA untuk jenis
barang tembakau dan juga pada tahun 1993 kata Champagne digunakan untuk parfume, kedua kasus tersebut telah dibawa ke
proses pengadilan (Wenger,2001:6).
Patut dicatat bahwa penggunaan nama geografis yang sudah
mempunyai reputasi untuk produk lainnya akan mengakibatkan hal-hal yang
diindikasikan oleh Wenger (2001:6) sebagai berikut :
·
Membuat penekanan atas nama yang bergengsi atau nama yang
mempunyai reputasi berakibat kehilangan
daya tariknya, hal ini akan membahayakan kesan di masyarakat dan kehilangan
reputasi.
·
Menyuburkan tindakan haram, dimana pengguna nama yang
tidak berhak tersebut akan menikmati kesan atau reputasi dari barang yang sudah
mempunyai reputasi.
·
Produk dengan
menggunakan nama yang sudah mempunyai reputasi akan mendapat pengakuan
dari seluruh dunia serta mendapat kesan positif dari pembeli, dan juga membawa
dampak tidak meragukan konsumen apabila menjual produk tersebut dengan harga
tinggi.
Fakta dan alasan tersebut di atas menunjukkan bahwa
penggunaan suatu nama geografis untuk
produk lain selain produk geografis tersebut akan menjatuhkan reputasi dan
menyesatkan masyarakat
Perancis sudah
mengatur hal tersebut sehingga perlindungan terhadap produk – produk geografis
terlindungi baik secara nasional maupun Internasional.
IV. Kasus Darjeling Tea dan Basmati
Rice
Darjeling Tea salah
satu produk indikasi geografis di India yang cukup terkenal karena kekhasannya
hanya tumbuh di daerah pegunungan Sadar, Kalimpong, dan Kurseong dari distrik
Darjeeling, West Bengal, India. Pemerintah India berupaya keras untuk
melindungi komoditas ini dari kemungkinan penyalahgunaan yang dapat menurunkan
reputasi atau penggunaan secara tanpa hak atas. Bentuk upaya yang dilakukan
oleh Pemerintah India yaitu dengan membentuk Tea Board of India, lembaga ini
sebagai pemegang hak atas Darjeeling Tea. Adapun ruang lingkup kegiatan dari Tea Board yaitu [19]
·
Memberikan ijin lisensi kepada setiap
lembaga atau orang yang akan menggunakan dan memproduksi darjeeling tea.
·
Mengadministrasikan lembaga atau
perorangan yang akan menggunakan, memperdagangkan dan menerima lisensi atas
Darjeeling tea.
·
Memberikan ijin kepada setiap lembaga
atau orang yang akan menggunakan logo Darjeeling serta kata Darjeeling untuk
didaftarkan sebagai merek dagang untuk jenis barang teh.
·
Memberikan perlindungan penggunaan
Darjeeling tea diseluruh dunia, melalui ketentuan – ketentuan Internasional
yang berlaku dan melalui jalur WTO, serta membuka cabang-cabang di beberapa
negara antara lain United Kingdom, Hamburg-Germany, Moscow-Russian Federation,
Dubai-UEA, New York, Tokyo-Japan.
·
Membantu dan mengembangkan perdagangan
Darjeeling Tea baik secara nasional maupun Internasional.
Dengan adanya
lembaga tersebut maka, perlindungan atas produk indikasi geografis Darjeeling tea
dapat terjamin keberadaannya. Sebagaimana halnya pendaftaran merek Darjeeling
Tea berikut logo di Amerika didaftarkan oleh Tea Board Of India Corporation
dibawah pendaftaran nomor 1632726 tanggal 2 Januari 1991. Selain pendaftaran
tersebut juga terdapat pendaftaran lain atas kata Darjeeling yaitu Darjeeling Gardens daftar nomor 1490383
tanggal 31 Mei 1988 atas nama Kraft Inc Corporation Delaware Kraft Court
Glenview Illinois melindungi jenis barang Teh, kemudian pada tanggal 5 Desember
1994, pendaftaran tersebut dibatalkan berdasarkan Pasal 8 Undang-undang Merek
Amerika yaitu karena terdapat persamaan dengan pendaftaran merek milik
orang/lembaga lain. Dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan adanya
perlindungan Indikasi Geografis dari negara bersangkutan dan memberikan jaminan
perlindungan sampai dengan dunia Internasional maka hal tersebut akan
memberikan jaminan kepastian hukum atas produk Indikasi Geogarafis
bersangkutan.
Kasus indikasi geografis lainnya yang muncul dari India
yaitu kasus Basmati Rice (beras Basmati), Basmati berarti the queen of
fragrance or the perfumed one. Tipe beras ini tumbuh di kaki bukit
Himalaya sejak ribuan tahun. Beras ini mempunyai aroma sangat khas yang berasal
dari biji padi yang panjang. Pada tahun 1997 sebuah perusahaan Amerika Rice Tec
Inc telah melakukan suatu penemuan dan mendaftarkan sebagai Paten yang diberi
nama the aromatic rice grown outside India “Basmati”, penemuan tersebut merupakan metode untuk
mengembangkan Basmati Rice diluar India dengan cita rasa dan aroma yang sama
dengan Basmati berasal dari India. Rice
Tec Inc mencoba untuk memasuki pasar Internasional Basmati dengan menggunakan
merek Kasmati dan Texmati. Rice Tec Inc tidak hanya menyebutkan aroma Basmati
dalam produk tersbut namun juga memberikan label Basmati untuk diexport. Beras
adalah aspek yang utama bagi India dalam menumbuhkan pertumbuhan ekonomi, beras
Basmati telah diexport kurang lebih setengah juta ton ke Teluk, Saudi Arabia,
Eropa dan Amerika. Dengan adanya rekayasa pertanian atas beras Basmati tersebut
diatas, maka pemerintah India telah melakukan upaya-upaya hukum secara
Internasional yaitu dengan membawa kasus ini ke WTO, apabila dikaitkan dengan
ketentuan TRIPs yang mengatur tentang indikasi geografis maka penggunaan kata Basmati
adalah hal yang eksklusif yang berasal dari India dan Pakistan sebagaimana
halnya Champagne berasal dari Perancis dan Scoth Whiskey berasal dari Scotland,
sehingga tidak dapat dipergunakan kepada suatu produk yang bukan berasal dari
wilayah yang bersangkutan.
Hingga saat ini
permasalahan Basmati Rice masih dalam pembahasan di WTO dan dunia
Internasional, perjuangan pemerintah India atas kasus ini masih terus
berlangsung. Kasus ini sebagian besar pengamat menyebutnya sebagai bio-piracy.
Dari kedua kasus
indikasi geografis di India, menunjukkan bahwa pengaturan indikasi geografis
disuatu negara akan membawa dampak positif yaitu memberikan perlindungan dan
kepastian hukum atas produk indikasi geografis di negara yang bersangkutan
maupun di dunia Internasional.
Indian Basmati Rice
US Texmati rice
Darjeling Tea
9. Potensi Indikasi Geogarfis Indonesia
Aceh
I. Kopi Arabika Gayo
Daerah Penghasil : Kab. Aceh Tengah,
Bener Meriah.
Kopi Gayo (Gayo Coffee) merupakan
salah satu komoditi unggulan yang berasal dari Dataran Tinggi Gayo. Perkebunan
Kopi yang telah dikembangkan sejak tahun 1926 ini tumbuh subur di Kabupaten
Bener Meriah dan Aceh Tengah. Kedua daerah yang berada di ketinggian 1200 m dpl
tersebut memiliki perkebunan kopi terluas di
Indonesia, yaitu seluas 73.782
hektar. Mayoritas masyarakat Suku Gayo yang mendiami kedua kabupaten ini
berprofesi sebagai Petani Kopi. Varietas Arabika mendominasi jenis Kopi yang
dikembangkan oleh para petani Kopi Gayo. Kopi
dari wilayah ini umumnya diolah di tingkat perkebunan,
menggunakan metode semi-wet tradisional. Karena proses pengolahan basah
tersebut, kopi Pegunungan Gayo memiliki tone yang lebih tinggi dan body
yang lebih ringan dari kopi Lintong dan Mandheling yang berasal dari wilayah
Timur Sumatra.
Negara Tujuan Eksport
Amerika Serikat merupakan negara paling
besar yang mengimpor kopi Aceh hingga September 2008 yakni mencapai 14,946 juta
dollar (4,129 ribu ton) atau 70,30 persen dari total ekspor komoditi
tersebut.Kemudian, negara pengimpor lainnya Kanada dengan nilai 1,742 juta
dollar (434,7 ton), Meksiko 1,164 juta dollar (288 ton), Australia 130,8 ribu
dollar (37,2 ton), dan Selandia Baru senilai 126,171 ribu dollar (36
ton).Selain itu, negera tujuan ekspor kopi Aceh juga ke Masyarakat Ekonomi
Eropa (MEE), yakni Inggris, Berlgia, Jerman, Norwegia, Swedia, Auburn, dan
Newserlan. Negara pengimpor terbesar adalah Jerman dengan dengan nilai 916.775 dollar (291,96 ton, disusul Auburn
694.449 dollar (180 ton), Swedia 430.021 dollar (108 ton), sedangkan negara
lainnya dibawah 300.000 dollar. *
http://www.hinamagazine.com/index.php/2008/12/31/di-tengah-krisis-pasar-kopi-gayo-masih-cerah
http://www.aped-project.org/forumkopi/
Produk Kopi Gayo yang beredar dipasaran
2. Nilam
Aceh (Pogestemon
cablin Benth.)
Nilam
Aceh (Pogestemon cablin Benth.) merupakan salah satu tanaman penghasil
minyak atsiri yang penting sebagai penyumbang devisa.
Areal pertanaman nilam dalam sepuluh tahun terakhir terus
meningkat, dari 9.065 ha pada tahun 1992 menjadi 21.602 ha,pada tahun 2002
(Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2004).
Indonesia merupakan pemasok minyak nilam terbesar di
pasaran dunia dengan kontribusi 90%.Ekspor minyak nilam tahun 2002 sebesar
12,95 ton dengan nilai US $ 22,526 juta (Ditjen Bina Produksi Perkebunan
2004).Sebagai komoditas ekspor minyak nilam mempunyai peluang yang baik karena
permintaan selalu meningkat dan sampai sekarang belum ada produk substitusinya
(Ibnusantosa,2000). Minyak nilam dibutuhkan antara lain dalam industri parfum,
kosmetik (Dummond, 1968) terutama karena bersifat fixsatif yaitu dapat mengikat
minyak atsiri lainnya sehingga harumnya dapat bertahan lama *Buletin TRO XV No. 2, 2004
Negara Tujuan Eksport
Tiap tahun,
banyak Negara mengimpornya. Misalnya, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Swiss,
Jerman, Belanda, Singapura, dan India. Dengan kebutuhan lebih dari 200 ton per
tahun, Amerika Serikat menjadi importer minyak nilam terbesar di dunia. Urutan
berikutnya ditempati lima negara Eropa, yaitu Inggris 45 ton-60 ton per tahun,
Prancis dan Swiss 40 ton-50 ton per tahun, Jerman 35 ton-40 ton per tahun,
serta Belanda 30 ton per tahun.
Salah satu nilam yang terkenal adalah nilam Aceh
(pogostemon cablin). Ada
pula nilam Jawa (pogostemon hortensis) dan nilam tipis (pogostemon heyneanus). Di antara ketiga jenis ini, nilam Aceh memiliki kualitas kualitas terbaik
karena kandungan kadar atsirinya paling tinggi,
2,5%-5%. Sedangkan, nilam jenis lain hanya 0,5%
.*www.bexi.co.id/images/_res/BN33_KomoditasPasarEkspor.pdf
Nilam Aceh
http://indonetwork.co.id/indo_aromatik_m/prod
http://pengawasbenihtanaman.blogspot.com/2008_07_01_archive.html
Sumatra Utara
I. Kopi Arabika Lintong /Mandailing
Daerah Penghasil: Lintong, Humbang Hasundutan dan Sidikalang. Kab. Taput, Humbahas dan Toba Samosir.
Kopi Lintong ditanam di Kabupaten Lintongnihuta, yang terletak di Barat
Daya Danau Toba. Danau Toba adalah salah satu danau terdalam di dunia dengan
kedalaman 505 meter. Daerah penghasil kopi disini adalah dataran tinggi, yang
dikenal karena memiliki beragam spesies pohon pakis. Wilayah ini menghasilkan
15.000 hingga 18.000 ton Arabika per tahunnya. Mandheling adalah nama dagang
yang digunakan untuk kopi Arabika yang berasal dari bagian Utara Sumatra. Nama
tersebut diambil dari masyarakat Mandailing yang menanam kopi di wilayah
Tapanuli di bagian barat Sumatra.
*http://www.sca-indo.org/id
“Produksi kopi arabika baru sekitar
20.000 ton sampai 25.000 ton pertahun. Sementara permintaannya jauh lebih
tinggi dari angka tersebut. Kopi arabika asal Sumut di pasar internasional
punya merek dagang kopi mandailing. Jenis kopi ini sudah mulai ditanam di
daerah Lintong, Humbang Hasundutan dan Sidikalang. Memang ada kopi arabika
speciality Sidikalang, tetapi untuk mudahnya, pembeli di Amerika menyebutnya
sebagai arabika sumatera atau arabika mandailing,
Kopi di Sumut terbukti menjadi salah
satu penyumbang devisa. Ekspor kopi Sumut hingga April lalu menurut data AEKI
Sumut telah mencapai 71,68 juta dolar AS dari volume ekspor biji dan bubuk kopi
sebanyak 21.969 ton. Dari jumlah ini kopi jenis arabika menjadi penyumbang
terbesar yakni 65,07 juta dolar AS dari volume ekspor sebanyak 19.137 ton. *http://humbang.com/internasional-doyan-kopi-arabika-sumut/
Negara Tujuan Eksport
kopi mandailing banyak diminati
gerai kopi internasional di Jepang, Amerika Serikat dan Eropa.
Produk Kopi Mandailing yang beredar dipasaran
II. Kopi Arabika Sidikalang Daerah penghasil : Dairi dan Pakpak Bharat
Sidikalang adalah ibukota Kabupaten
Dairi yang terletak di daerah pegunungan. Dairi dan
Pakpak Bharat memang menghasilkan kopi arabika puluhan ton setiap bulan akan
tetapi pada perdagangan dunia kopi tsb diberi merek kopi dari daerah lain,
yaitu Sumatra Mandheling dan Kopi Lintong. Nama KOPI SIDIKALANG hanya buah
bibir di Indonesia hingga ke mancanegara. Penduduk Dairi tidak pernah merasakan
manfaat ekonomi penggunaan nama tsb. Bahkan banyak pengusaha di luar Dairi
mencatumkan nama/merek Kopi Sidikalang pada produknya tanpa menggunakan bahan
baku kopi dari Dairi(*. Kabupaten Dairi
secara geografis terletak diantara 98 0 00'-98 0 30'3T dan 2 0 -3 0 00' LU.
Kabupaten Dairi secara administratif terdiri dari 13 kecamatan dengan 124 desa
dan 7 kelurahan. Luas wilayah Kabupaten Dairi adalah 1.927,8 Km2.
III. Kopi Robusta Sidikalang
Kopi Robusta mulai diperkenalkan di Indonesia
ditahun 1900an untuk pengganti kopi arabica yang hancur saat terjadi penyakit
tumbuhan menyerang tanaman kopi arabica, kopi robusta yang lebih tahan terhadap
hama dianggap sebagai alternatif yang tepat terutama untuk perkebunan kopi
didaerah dataran rendah.
Ahli
peneliti utama hama tanaman pada Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Ir
Soekadar Wiryadiputra mengatakan, Indonesia punya banyak komoditas kopi
unggulan yang telah dicatat di pasar internasional termasuk kopi sidikalang,
kopi toraja, kopi mandailing. Sayangnya, kualitas
produksi dalam negeri kian tergeser oleh produksi sejenis dari negara lain,
termasuk Vietnam
Robusta Sidikalang
IV. Kemenyan
Daerah Penghasil : Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan.
Kemenyan (Stryrax sp) yang termasuk famili Stryraccaceae
dari ordo Ebeneles diusahakan oleh rakyat Sumatera Utara di tujuh
kabupaten, terutama di Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Pakpak
Bharat, dan Toba Samosir. Tanaman ini juga dikembangkan
di Dairi, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah meski tidak terlalu banyak.
Sedangkan penghasil kemenyan terbesar masih di Tapanuli Utara dan Humbang
Hasundutan.
Di Tapanuli Utara, kemenyan menjadi
komoditas andalan daerah di bawah kopi dan karet. Dari 56.003 keluarga di
kabupaten itu, 30.446 keluarga atau lebih dari 54 persen menjadikan kemenyan
sebagai sumber penghasilan. Di Humbang Hasundutan bahkan sekitar 65 persen
keluarga (33.702) hidup dari pohon kemenyan. Komoditas ini menduduki posisi kedua
di bawah kopi.
Dinas Perkebunan Sumatera Utara
memperkirakan, pada tahun 2005 luas tanaman kemenyan di Sumatera Utara mencapai
23.592,70 hektar dengan produksi 5.837,86 ton.
Produktivitas getah 294,31 kilogram
per hektar per tahun. Getah kemenyan mengandung asam sinamat sekitar 36,5
persen yang banyak digunakan untuk industri farmasi, kosmetik, rokok,
obat-obatan, dan ritual keagamaan.
Negara Tujuan Eksport
Vietnam, Kamboja, India, Pakistan & Singapura
IV.
Tembakau Deli
Daerah Deli Serdang terutama di
sekitar sungai Ular telah terkenal sejak zaman Belanda sebagai sentral tembakau
Deli. Tembakau Deli sangat terkenal karena kualitasnya sangat baik untuk cerutu
yaitu sebagai pembalut (deg blad). Pusat pasar tembakau cerutu Deli masa lalu
di Bremen Jerman. Dengan demikian tembakau Deli adalah potensi lokal yang khas
untuk Kabupaten Deli Serdang. Potensi tersebut adalah potensi kesesuaian lahan
di daerah ini yang dapat menghasilkan kualitas tembakau yang sangat baik. Tembakau Deli masih dianggap sebagai tembakau terbaik di
dunia untuk bahan cerutu khususnya cerutu tiper Eropa. Pada Tahun 2007 PT
Perkebunan Nusantara II sebagai pengelola perkebunan ini meraih pendapatan
sebesar Rp 56,277 miliar dari penjualan (lelang dan non lelang) tembakau
produksi perusahaan yang mencapai 3.770 bal. Tembakau deli dipergunakan sebagai
pembalut untuk cerutu-cerutu berkualitas tinggi yang berharga sangat mahal. Hal
ini dikarenakan adanya aroma yang khas, elastisitasnya, daya bakar hingga warnanya yang sangat
menarik.
Negara Tujuan Eksport
Swiss, Belgia, Belanda, Jerman, Inggris,
Perancis dan USA.
Jambi
Kayu
Manis Kerinci (Kurintci Cassiavera)
Daerah
Penghasil : Kabupaten Kerinci
Potensi Kabupaten Kerinci
Jambi sebagai produsen komoditi kayu manis (Cassiavera) terbesar di dunia, dan
volume ekspornya juga menempati urutan terbesar di dunia yakni sebesar 26
persen dari ekspor dunia.
Produksi Indonesia sebesar
45 persen dari produksi dunia, dan daerah sentra produksinya di Indonesia di
Jambi khususnya Kabupaten Kerinci yang menempati urutan utama, selain Sumatera
Barat khususnya kabupaten yang berdekatan dengan Kabupaten Kerinci Jambi
seperti Solok Selatan dan Tanah Datar.
http://www.sinartani.com/potensi/ekspor-kayu-manis-kerinci-terbesar-dunia-1227667175.htm
Kebutuhan nasional kayu
manis cukup besar, dan secara internasional yang banyak membutuhkan seperti India ,
Asia Barat termasuk negara-negara kawasan Arab dan Cina. Dikatakan
Kabupaten Kerinci Jambi dan Sumatera Barat menempati 85 persen dari total
produksi nasional, dan sisanya sekitar 15 persen produksi nasional dihasilkan
oleh daerah lain seperti Sumatera Utara,
Kalsel, Aceh dan daerah lain hampir tidak ada tanaman kayu manis ini. http://foragri.blogsome.com/kayu-manis-kerinci-sebagai-komoditas-unggulan.
Luas lahan kayu manis pada tahun 2000 encapai 50.439
hektar dengan total produksi sebanyak 20.980 ton. Saat ini, harga rata-rata
kayu manis di tingkat petani sebesar Rp 2.562 per kg. Bisa diperkirakan uang
yang mengalir dari hasil cassiavera ini dalam setahun mencapai Rp 53,75 milyar.
Negara Tujuan Eksport Komoditas ini diekspor ke Singapura, Amerika Serikat, dan negara-negara
Eropa. http://bankdata.depkes.go.id/kompas/Kabupaten%20Kerinci.pdf
Lampung
I. Kopi Robusta Lampung :
Daerah Penghasil : Kabupaten Lampung,
Kabupaten Tanggamus Barat, Kabupaten Lampung Utara
Di Lampung, terdapat 3 sentra kopi Robusta: (1)
Kabupaten Lampung Barat (potensi produksi 60.000 ton, terbanyak di
Lampung mungkin Indonesia); (2) Kabupaten Tanggamus (potensi produksi 40.000
ton) ; dan (3) Kabupaten Lampung Utara (potensi produksi 20.000 ton).
Provinsi lampung
adalah penghasil kopi robusrta terbesar di Indonesia dan kopi robusta adalah
adalah komoditi eksport terbesar yang dimiliki Provinsi Lampung. Dari nilai
eksport dicatat bahwa Ekspor kopi robusta Lampung ke Jerman 2007 mencapai
183.070 ton atau 16,36 persen dari total ekspor kopi daerah berpenduduk sekitar
tujuh juta jiwa itu.Jerman merupakan salah satu negara tujuan ekspor utama kopi
robusta asal Lampung, kata Ketua Kompartemen Relitbang BPD Asosiasi Eksportir
Kopi (AEKI), Muchtar Lutfie, Jumat.
Selain Jerman, negara tujuan ekspor
utama lainnya adalah Jepang dan Amerika Serikat. Ekspor kopi Lampung ke Jepang
2007 mencapai 14,14 persen dari total realisasi ekspor kopi
daerah ini yang mencapai 183 juta
ton. Sementara dari total ekspor kopi Lampung sekitar 183 juta ton hanya 13,02
persen ditujukan ke Amerika Serikat. Volume ekspor kopi Lampung selama 2007
yang mencapai 183.070 ton itu menghasilkan devisa sekitar 301,643 juta dolar
AS. Berdasarkan data dari Koperindag Lampung,
ekspor kopi Lampung 2006 mencapai 230.635 ton senilai 264,879 juta dolar AS.
Sementara areal tanaman kopi robusta di Lampung kini mencapai 163.837 ha dengan
218.447 petani yang terlibat dalam budidaya kopi. (ant) http://www.radarlamsel.com
Negara Tujuan Eksport : Jerman, Amerika, Jepang
II. Lada Hitam Lampung
Daerah Penghasil : Kabupaten
Lampung Utara, Way Kanan, Lampung Barat, sebagian Lampung Timur, dan Kabupaten
Tulang Bawang.
Lada (Piper nigrum L.) disebut sabagai raja dalam
kelompok rempah (“King of Spices”), karena merupakan komoditas yang paling
banyak diperdagangkan. Lada merupakan komoditas Indonesia yang sudah diekspor
ke Eropa sejak abad ke 12. Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, lada
memberikan keuntungan sebesar 2/3 dari total keuntungan yang diperoleh VOC. Sebelum Perang Dunia
ke II, Indonesia
mampu memenuhi 80% kebutuhan lada dunia. Hingga kini
lada hitam merupakan komoditas andalan
Provinsi Lampung
Negara Tujuan Eksport
Amerika Serikat, Malaysia, India, Vietnam,
Belanda, Pakistan, Rusia, Singapura, Australia, Belanda, Italia, Nepal, dan
Pakistan.
Lada Hitam Lampung (lampong Black Pepper)
Lada
Putih Muntok
Daerah Penghasil : Kabupaten Bangka
Tengah
Muntok adalah kota
tua yang berdiri sejak berabad silam yang terletak di sebelah Barat Pulau
Bangka-Belitung. Kota ini dijadikan sebagai kota pelabuhan
yang didirikan pada masa penjajahan Belanda. Hasil alam terutama lada putih
Bangka yang begitu terkenal diangkut kapal-kapal Belanda menuju ke daratan
Eropa. Komoditas ini sudah di diekspor ke Eropa sejak abad ke 12.
Pulau Bangka yang saat ini adalah Propinsi Bangka
Belitung merupakan penghasil utama lada putih Indonesia ( muntok white
pepper ) yang ditujukan untuk ekspor, yaitu sebesar 82 persen dari volume
ekspor lada putih Indonesia. Namun dalam perkembangannya akhir-akhir ini luas
areal dan produksi lada putih Bangka mengalami penurunan. Pada tahun 1990 luas
areal lada putih Pulau Bangka adalah 47 439 hektar dengan produksi sebanyak 29
943 ton dan pada tahun 2005 luas areal lada putih Pulau Bangka menurun menjadi
22 299 hektar dengan produksi sebanyak 22 140 ton.
Lada putih Indonesia
di pasar internasional menghadapi pesaing dari Malaysia
dan Brasilia . dan
Vietnam.yang pada tahun 2003, Vietnam mulai mampu
mengekspor lada putihnya sebanyak 4.500 ton. Dalam tahun 2001, nilai ekspor lada putih, sebesar US $ 57.8 juta,. Ekspor
lada Indonesia dalam bentuk lada hitam, lada putih dan lada bubuk sebagian
besar ditujukan ke Singapura, Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan Belanda.
Negara Tujuan Eksport
Singapura, Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan Belanda
Jawa Barat
I. Teh
Daerah Produksi: Kab Bogor, Kab Sukabumi
The
main product is the black tea and about 80% of production is exported.Tanaman teh pertama
kali masuk ke Indonesia
tahun 1684, berupa biji teh dari jepang yang dibawa oleh seorang Jerman bernama
Andreas Cleyer, dan ditanam sebagai tanaman hias di
Jakarta. Pada tahun 1694, seorang pendeta bernama F. Valentijn melaporkan
melihat perdu teh muda berasal dari China tumbuh di Taman Istana
Gubernur Jendral Champhuys di Jakarta. setelah pada tahun 1824 Dr.Van Siebold
seorang ahli bedah tentara Hindia Belanda yang pernah melakukan penelitian alam
di Jepang mempromosikan usaha pembudidayaan dengan bibit Teh dari Jepang. Pada
tahun 1826 tanaman teh berhasil ditanam dan melengkapi Kebun Raya Bogor, dan
pada tahun 1827 di Kebun Percobaan Cisurupan, Garut, Jawa Barat. Usaha perkebunan
Teh pertama dipelopori oleh Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson, seorang
ahli teh pada tahun 1828, yang kemudian menaruh Komoditas yang
menguntungkan landasan bagi usaha perkebunan teh di Jawa dan sejak itu
menjadi pemerintah Hindia Belanda, sehingga pada masa pemerintahan Gubernur Van
Den Bosh, Teh menjadi salah satu tanaman yang harus ditanam rakyat melalui
politik Tanam Paksa ( Culture stetsel ). Pada masa
kemerdekaan, usaha perkebunan dan perdagangan Teh diambil alih oleh pemerintah
RI. Sekarang, perkebunan dan perdagangan Teh juga dilakukan oleh pihak swasta.
Teh dari Jawa tercatat pertama kali diterima di Amsterdam tahun 1835. Teh
jenis ssam mulai masuk ke Indonesia (Jawa) dari Sri Lanka (Ceylon) pada tahun
1877, dan ditanam oleh R.E. Kerkhoven di kebun Gambung, Jawa Barat. Dengan
masuknya teh Assam tersebut ke Indonesia, secara berangsur tanaman teh China
diganti dengan teh Assam, dan sejak itu pula perkebunan teh di Indonesia
berkembang semakin luas. Pada tahun 1910 mulai dibangun perkebunan teh di
daerah Simalungun, Sumatera travelogue.multiply.com/journal/item/6 – 27
Sejarah panjang ini tentu memberikan makna besar bagi
bangsa Indonesia. Data pada 2002 menunjukkan bahwa luas areal teh di Indonesia
sudah mencapai lebih dari 157.000 hektar, yang terdiri atas perkebunan teh
milik BUMN sekitar 49.000 hektar, swasta 43.000 hektar, dan petani 66.000
hektar. Sekitar 70-80 persen perkebunan teh ini berada di Jawa Barat, tanah
Pasundan.
Pada 2002 Indonesia memproduksi 172.700 ton teh dari produksi
dunia 3,05 juta ton. Jadi, pangsa (share) Indonesia 5,6 persen. Sebagai
perbandingan, produksi negara lain, seperti India 826.200 ton, China 745.400
ton, Sri Lanka 310.600 ton, dan Kenya 287.000 ton (International Tea Committee,
2003).
Teh merupakan komoditas ekspor Indonesia, khususnya Jawa
Barat. Pada tahun 2002 nilai ekspor teh Indonesia mencapai 103,4 juta dollar
AS, dengan volume ekspor 94.700 ton untuk teh hitam dan 5.500 ton teh hijau.
Tahun 1993 nilai ekspor teh Indonesia ini mencapai 155,7 juta dollar dengan
volume ekspor 123.926 ton. Pada 1998 nilai ekspor teh Indonesia menurun menjadi
113,2 juta dollar dengan volume 67.219 ton.
Data ini menggambarkan bahwa penerimaan devisa dari
ekspor teh Indonesia ternyata menurun dari 1993 dan 1998. Yang paling
mengkhawatirkan adalah data 1998-2002, di mana volume ekspor meningkat 33.000
ton, tetapi pendapatan menurun 9,8 juta dollar atau Rp 83,3 miliar dalam empat
tahun.
Negara Tujuan Eksport
Inggris ,Perancis, Amerika Serikat, Jepang dan Jerman
Indonesian
Tea
II. Ubi Cilembu
Daerah Penghasil: Kabupaten Sumedang
Cilembu
hanyalah sebuah desa kecil yang termasuk Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten
Sumedang. Ubi sebenarnya bukanlah tanaman prioritas warga Cilembu,
karena mereka sebagian besar adalah petani padi.
Kondisi sawah
yang merupakan jenis tadah hujan membuat para petani memilih jagung dan ubi
sebagai tanaman selingan di saat musim kemarau. Menanam ubi di saat musim kemarau
cenderung dipilih karena saat musim hujan, rasa ubi tersebut biasanya berubah
menjadi agak pahit. Kadar air yang menjadi lebih tinggi pada ubi diduga sebagai
penyebabnya. Ubi Cilembu konon telah dikenal sejak jaman kompeni. Menurut Kodar Solihat dalam tulisannya di HU. Pikiran Rakyat, “Dari sepuluh kultivar ubi
jalar yang ditanam, yang kemudian menonjol karena rasanya paling enak, lebih
manis dan legit, adalah kultivar Nirkum. menurut masyarakat, konon singkatan
dari Meneer Kumpeni (waktu itu ubi jenis ini banyak digemari orang Belanda).
Kultivar Nirkum ini yang kemudian dikenal sebagai ubi cilembu. Ubi
cilembu tidak tumbuh di seluruh daerah ini. Hanya sekitar 20 hektar saja areal
tanah yang cocok ditanami ubi jenis ini.
Ubi
Cilembu dari Kabupaten Sumedang, Jawa Barat akan memasuki pasar Vietnam,
setelah memenuhi permintaan Jepang. "Saat ini, upaya mengimpor ubi Cilembu
ke Vietnam masih dalam penjajakan,"
*(Ketua Asosiasi Agrobisnis Ubi Cilembu
(Asaguci) AS Hadie Guna)
Selain kalangan petani ubi Cilembu juga tengah
melakukan penjajagan dengan negara Singapura karena minat mereka cukup besar
untuk mendapatkan agrobisnis unggulan Kabupaten Sumedang itu. Pengimporan rutin
yang dilakukan ke Negara Jepang dilakukan dalam hitungan dua minggu sekali yang
rata-rata dapat mengirimkan sekitar 15 ton.Import ke Vietnam dan Singapura sedang dalam
penjajagan.
*http://indrakh.wordpress.com/2007/04/03/cilembu-sentra-ubi-si-madu
II. Nanas Subang
Daerah Produksi: Kabupaten Subang
Kabupaten
Subang, Jawa Barat, dikenal sebagai sentra produksi nanas unggulan. Buah nanas
Subang terkenal hingga ke manca negara. Keistimewaannya, selain rasa buahnya
manis, aromanya harum, dan bila dimakan terasa segar di lidah. Nanas Subang
terkenal dengan sebutan nanas madu.
Di
pasaran harga buah nanas madu berkisar antara seribu hingga dua ribu rupiah per
kilogram. Pemasarannya tidak hanya untuk konsumsi di dalam negeri, tetapi juga
diekspor ke Korea dan Hongkong.
Negara Tujuan Eksport : Korea, Hongkong
/usaha-perkebunan-nanas-madu
III Beras Cianjur
Daerah Produksi: Kabupaten Cianjur yaitu Kecamatan Warungkondang, Cugenang, Cibeber dan sebagian Kecamatan
Cianjur.
Pandan Wangi
merupakan salah satu varitas lokal yang terkenal karena mempunyai aroma khas
pandan dan rasa yang enak/pulen. Varitas ini dikenal berasal dari Cianjur yang
merupakan satu-satunya beras terbaik yang tidak ditemukan di daerah lain dan
menjadi trade mark Cianjur dari masa ke masa. Rasanya enak dan harganya pun
relatif lebih tinggi dari beras biasa. Di Cianjur sendiri, pesawahan yang
menghasilkan beras asli Cianjur ini hanya di sekitar Kecamatan Warungkondang, Cugenang, Cibeber dan sebagian Kecamatan Cianjur. Luasnya sekitar 10,392 Ha atau
10,30% dari luas lahan persawahan di Kabupaten Cianjur. Produksi rata-rata per
hektar 6,3 ton dan produksi per-tahun 65,089 ton.
Karena
kemshurannya disinyalir banyak beras yang dipasarkan menggunakan kata cianjur
bukan berasal dari daerah cianjur melainkan beras-beras lain yang bermutu lebih
rendah yang dipasarkan dengan nama pandan wangi cianjur
Jawa Tengah
I.Telur Asin Brebes
Daerah Produksi : Kabupaten Brebes yaitu Sentra Produksi di Kec. Wanasari, Bulakamba dan Brebes.
Telur
asin sangat identik dengan Kabupaten Brebes, juga menjadi bagian yang sulit
dipisahkan dari kehidupan masyarakat daerah tersebut. Telur asin kini menjadi
produk unggulan, bukan sekadar usaha rumah tangga, tapi telah menjadi bagian
mata pencaharian sebagian warga. Selain
dikenal karena kelezatannya, telur asin produk mereka memiliki ciri lain: tidak
berbau amis, masir, dan berminyak.
Banyak cara pengasinan yang dipraktikkan masyarakat
Brebes selama ini. Yang terpopuler adalah metode begini: telur mentah dicuci,
lalu dibungkus abu gosok yang sudah dicampur garam. Ada pula yang memakai
campuran tanah liat dan serbuk batu bata yang dicampur garam. Menurut beberapa
perajin, metode dengan abu gosok dianggap lebih baik, karena telur tidak berbau
tanah.
''Proses pengasinan memakan waktu sampai sepuluh hari.
Lebih dari itu, rasa asinnya justru lebih terasa. Setelah diasinkan, telur direbus
sampai tiga jam.
Peternak juga harus selalu menjaga kualitas telur yang dihasilkan. Sebab
itik yang diberi pakan asal kenyang amat memengaruhi kualitas telur. Misalnya
itik yang diberi pakan bekicot, meski dari sisi nutrisi/gizi tidak keliru, akan
mengurangi kelezatan telur ketika diasinkan. Rasanya cenderung amis. ''Yang
baik meng- gunakan dedak, yang dicampur dengan filet atau potongan ikan
,http://www.suaramerdeka.com/harian/0408/19/eko06.htm
II. Teh
(Java Tea)
Daerah Produksi di Kabupaten
Wonosobo, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Batang
Jenis tanaman ini masuk ke Indonesia melalui para pedagang Cina di abad XII
dan sejak saat itu mulai dibudidayakan di Indonesia . Dalam perkembangan selanjutnya, teh diolah menjadi produk industri yang
makin digemari masyarakat, baik dalam maupun luar negeri. Produk teh diolah
melalui proses farmentasi (teh hitam), dan tanpa proses farmentasi (teh hijau)
atau yang dicampur dengan bunga melati (teh melati). Jenis yang terakhir
umumnya dikonsumsi hanya oleh masyarakat Jawa Tengah.
Sentra produk teh
di Jawa Tengah tersebar di Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Batang dengan luas areal penanaman seluas 1.471 ha (PTP), 2.623 ha (PBS), dan
7.725 ha (perkebunan rakyat). Sedangkan pasar produk teh Jawa Tengahselain
melayani permintaan pasar dalam negeri juga berhasil menembus pasar luar negeri
baik Asia (untuk produk teh hijau), maupun negara-negara Eropa, Kanada, dan
Amerika Serikat (teh hitam).
Negara Tujuan Eksport : Asia (untuk produk teh hijau), maupun negara-negara Eropa, Kanada, dan
Amerika Serikat (teh hitam).
III. Kopi Robusta Temanggung
Temanggung
merupakan pemasok kopi ekspor terbanyak di Jateng. Pada tahun 2006 luas lahan
kopi setempat mencapai 10.518,14 hektare terdiri lahan kopi arabika 1.404,29
hektare dengan produksi 201,3 ton dan kopi robusta 9.113,85 hektare dengan
produksi 4.524, 19 ton. jenis robusta panenan para petani, antara lain dari
Kecamatan Jumo, Kandanga, Gemawang, dan Candi Roto. Harga kopi saat ini antara
Rp15.750,00 hingga Rp16.650,00 per kilogram.
Setiap minggu, katanya, Temanggung mengekspor kopi sebanyak 6,5 ton, antara lain ke Eropa, Timur Tengah, dan Jepang. Perusahaan eksportir kopi Temanggung adalah PT Gemilang Sentosa Permai, Malang, Jawa Timur.
Setiap minggu, katanya, Temanggung mengekspor kopi sebanyak 6,5 ton, antara lain ke Eropa, Timur Tengah, dan Jepang. Perusahaan eksportir kopi Temanggung adalah PT Gemilang Sentosa Permai, Malang, Jawa Timur.
Negara Tujuan Eksport : Eropa, Timur Tengah, dan Jepang.
Jepara
I. Durian Petruk Jepara
Daerah Penghasil : Kecamatan Randusari, Kecamatan Tahunan Jepara
Nama durian ini
khas dari jawa tengah, seperti diketahui di jawa tengah ada banyak nama Durian Petruk. Ada Petruk Jepara, Gunung
Pati, Ungaran, Pekalongan, dan beberapa lainnya. Namun yang sudah dirilis
sebagai durian unggul adalah Petruk
Jepara pada tahun 1984. Durian ini berasal dari Randusari, Tahunan
Kabupaten Jepara. Berbentuk kerucut kecil dan pendek. Meski rasanya manis dan
daging buah tebal, Durian tersebut bagus bila ditanam dilokasi tempat asalnya,
Tapi bila ditanamdi lain tempat, rasa buah tidak optimal.
Flona Edisi 72/V Februari 2009
Jawa Tmur
I. Tembakau Besuki (Java Besuki)
Daerah Produksi : Kabupaten Jember
Sejak tahun 1863, pengembangan tembakau
bahan
cerutu di Indonesia
terpusat di tiga areal
pengembangan, yaitu di Deli (Sumatera Utara),
di Klaten (Jawa Tengah), dan di Eks Karesiden
Besuki
(Jawa Timur) *Dutch Tobacco Growers,
1951. Tentunya pemilihan lokasi areal pengembangan
tersebut didasarkan pada kondisi agroekologi yang sesuai untuk memproduksi tembakau
bahan cerutu. Namun demikian dalam sejarahnya, ternyata pemilihan pusat-pusat
penanaman tersebut semula ditujukan untuk memproduksi tembakau rajangan bahan
baku rokok putih *Dutch Tobacco Growers, 1951 Dalam perkembangan selanjutnya,
areal terluas penanaman tembakau cerutu (sekitar 80% dari total areal
penanaman) berada di daerah Eks Karesiden Besuki, terutama di Kabupaten Jember.
sebagian besar tembakau cerutu di Eks Karesiden Besuki dikelola oleh petani.
BUMN hanya mengelola tembakau cerutu di daerah Jember Utara, yang hasil
utamanya adalah tembakau untuk pengisi cerutu (filler) dan untuk pembalut
cerutu (omblad). Jenis tembakau tersebut dikenal sebagai tembakau besuki
na-oogst (Besno). Sedangkan tembakau cerutu rakyat, sebagian besar dikembangkan
di daerah Jember Selatan.
Daerah
Jember Selatan merupakan areal penghasil tembakau mutu pembungkus dan pembalut
cerutu (dek-omblad) yang harganya lebih tinggi daripada mutu filler. Kondisi topografi dan curah hujan di Jember Selatan berbeda dengan daerah
Jember Utara. Daerah Jember Selatan relatif lebih datar, dan tanahnya berkadar
partikel liat lebih tinggi, serta curah hujan lebih tinggi daripada Jember
Utara, sehingga ketersediaan air bagi pertumbuhan tembakau juga lebih banyak.
Perbedaan ini yang memungkinkan produktivitas tembakau besuki di Jember Selatan
(1555 kg/ha) lebih tinggi daripada produktivitas tembakau di Jember Utara
(hanya 791 kg/ha). Berbedanya karakteristik wilayah tersebut mungkin juga
mempengaruhi karakteristik agroekologi yang sesuai bagi pertumbuhan tembakau
untuk berproduksi dan bermutu tinggi.
Java Besuki digunakan untuk
pembungkus dalam (omblad) dan pembungkus luar ( dekblad) cerutu. Sementara
untuk isi (filler) digunakan tembakau Java Besuki yang telah dicampur dengan
tembakau dari Havana dan Brasil.
Logo PTPN X
Negara Tujuan Eksport : Bremen, Spanyol, Amerika dan Aljazair.
Kini juga Belanda, Perancis, Belgia, Jepang, Selandia Baru, Maroko, Tunisia,
Pantai Gading. Senegal dan Konggo.
II. Aggur Besuki
Daerah Penghasil : Kabupaten Situbondo
Tanaman anggur merah kini menjamur di wilayah barat Kabupaten Situbondo.
Beberapa tahun terakhir ini, warga sukses membudidayakannya. Bahkan, buah itu
diproyeksikan menjadi salah satu produk unggulan petani di wilayah kecamatan
Bungatan ke barat. saat ini masyarakat
di Kecamatan Bungatan, Mlandingan, Suboh, Besuki, dan Banyuglugur sedang
antusias menanam anggur. Ada yang menanam di pekarangan rumah. Ada juga yang
menaman di kebun dengan jumlah besar. iklim dan kondisi tanah Situbondo
mendukung. Selain panas, tekstur tanahnya berpasir. "Warga tinggal
memperdalam ilmu teknis perawatannya. Bagaimana bisa menghasilkan buah anggur
merah yang benar-benar pilihan, kini sudah terbentuk asosiasi petani anggur.
"Lembaga ini sebagai wadah petani anggur, untuk bersama-sama melangkah
memajukan dan enyejahterakan diri melalui budidaya anggur.
III. Java Arabika Coffee
Daerah Penghasil :
Di Jawa, kopi mula2 ditanam di
sekitaran Jayakarta, meluas ke Jawa Barat, dan kemudian lebih diperluas ke Jawa
Timur, serta kemudian ke luar Jawa. Varietasnya arabika. Sebuah pameran yang
digelar di AS (dengan dana yang cukup besar, ditanggung industri kopi Jawa)
membuat publik Amerika mulai mengenal kopi dan menjuluki minuman ini sebagai
Java. Nusantara, khususnya Jawa, menjadi pengekspor kopi terbesar dan terbaik
di dunia. Malangnya, terjadi wabah di tahun 1880an, yang memusnahkan kopi
arabika yang ditanam di bawah ketinggian 1km dpl, dari Shri Lanka hingga Timor.
Brasil dan Colombia mengambil alih peran sebagai eksportir kopi arabika
terbesar, sampai kini. Sementara itu, varietas kopi di sebagian besar Jawa
diganti dengan liberika. Tapi tak lama, wabah yang serupa memusnahkan varietas
ini juga, sehingga akhirnya 90% kopi di Jawa diganti dengan varietas robusta,
kecuali di tempat yang betul2 tinggi.
Setelah penjajahan berakhir, kebun2
kopi dinasionalisasi dan/atau diprivatisasi. Adalah PTPN XII (a state-owned company) yang kini mengelola kopi yang disebut sebagai
Java Estate.
PTPN XII yang mengelola beberapa perkebunan di pegunungan
Ijen (Jawa Timur) hingga kini tetap memelihara varietas arabika dengan kualitas
amat tinggi. Kebun2nya terletak di Blawan (2500 Ha), Jampit (1500 Ha), Pancoer
(400 Ha), dan Kayumas (400 Ha), dengan ketinggian antara 900 hingga 1600 m dpl.
Hasil tahunan mencapai sekitar 4 ribu ton biji kopi hijau. 85% biji diekspor
sebelum dipanggang.
Di dekat kawasan PTPN XII, terdapat
juga perkebunan Kawisari dan Sengon, dengan luas 880 Ha, dan ketinggian lebih
rendah dibandingkan kebun2 milik PTPN XII. Kopinya 95% robusta, dan sisanya
arabika. Hasilnya banyak digunakan untuk industri kopi di sekitar Jawa Timur. Komoditi kopi yang berasal dari perkebunan yang dikelola
BUMN atau PTPN sebanyak 25 persen, dari perkebunan yang dikelola perkebunan
swasta 25 persen, dan sisanya perkebunan rakyat sebesar 50 persen. “Jadi,
perkebunan rakyat mendominasi hasil kopi di Jatim,” Pengelolaan kopi yang
dilakukan oleh PTPN XII menggunakan metode pemrosesan basah.
Negara Tujuan Eksport : Jepang, Italia, Jerman, Amerika Serikat, Malaysia
Java Coffee yang dipasarkan diluar negeri
[1]
http://www.wipo.int/geo_indications/en/about.html
[2] On the common law doctrine of passing of, lihat W.R. Cornish, Intellectual Property: Patents, Copyright, Trade
Mark, and Allied Rights (4th ed.1999), at Chapter 16.
[3] Di Inggris, sebagai
contoh, Stilton chesse dan Harirs Tweed dilindungi dalam certification trade
mark, The Harris Tweed mark terdaftar pada tahun 1909.
[4] Resource
Book on TRIPS and Development.,UNCTAD-ICTSD Project on IPRs and Sustainable
Development. Hal.270.Cambridge
university 2005.
[5] Sebagai contoh adalah “California
Burgundy” atau “California Chablis” yang dapat menyesatkan konsumen tentang asal barang,
sedangkan Chablish adalah daerah penghasil
anggur diutara Burgundy Perancis.
[6] Sebagai contoh : GAYO ARABICA COFFEE style
made in Malaysia, PETER COFFEE MALAYSIA, TORAJA COFFEE type atau MALAYSIAN JAVA COFFEE,
[7] Lihat Pasal 25 huruf
d PP No. 51 Tahun 2007 Tentang Indikasi Geografis
[8] WIPO Standing
Commiitee on the Law of Trademarks, Industrial Designs and Geographical
Indication, SCT/8/4, April 2, 2002 at paras. 66-71
[9] SCT/8/4, April 2, 2002 .
[10] GATT, TRIPS Dan Kekayaan Intelektual. Mahkamah Agung RI
1998. Hal 70
[12] lihat Pasal I PP No.
15 Tahun 2007 Tentang Indikasi geografis
[13] Agung Damarsasongko,
Indikasi geografis suatu pengantar, 2008. Ditjen HKI dan JICA.
[14] Absolut Ground adalah
penolakan mutlak karena dianggap bukan merek.
[15] Agung
Damarsasongko, Makalah merek dan
indikasi geografis, tanpa tahun. Hal 8.
[16] Lihat
http://oami.europa.eu/CTMOnline
[17] www.arviscoffee-sumatra.com